Tidak dipungkiri bahwasanya perubahan hukum-hukum disebabkan adanya perubahan waktu, tempat, dan keadaan/kondisi
A. Pendahuluan.
“Agama itu mudah . siapapun yang hendak membuatnya sulit, niscaya akan dikalahkannya (HR. Bukhari)
“Mudahkanlah; jangan menyulitkan. Tebarkanlah optimesme; jangan membuat orang menjadi pesimis” (HR. Bukhari dan Muslim)
Begitulah yang dapat kita ketahui di antara hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. Dan masih banyak lagi yang mengandung pengertian seperti itu, dan sudah barang tentu, pengertian seperti ini, beliau (Muhammad saw) pengertian seperti ini, beliau simpulkan dari wahyu Allah SWT, berupa ayat-ayat al-Qur’an, maupun hadits-hadits Qudsiy, yang menegaskan bahwa perintah-perintah Allah semuanya adalah ringan dan mudah dikerjakan; tak mungkin menjadi beban menyulitkan bagi siapa saja yang hendak melaksanakannya.
Diantara firman Allah SWT QS. al-Baqarah (2): 286, al-Baqarah (2): 185 serta al-Hajj (22): 78, begiu pula dengan doa-doa yang diajarkan kepada kita dalam al-Qur’an yang bunyi : ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan atas diri kami beban yang berat, sebagaimana Engkau bebankan atas orang-orang sebeum kami. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan atas kami diri kami apa yang tak sanggup kami memikulnya…maafkanlah kami, ampunilah kami dan rahmatilah kami. (QS. al-Baqarah (2): 286
Begitulah nuansa kemudahan agama yang dapat kita tangkap ketika menyimak kedua sumber utamanya : al-Qur’an dan as-Sunnah.
Dalam setiap perintah dan larangan, Ketentuan syari’at Islam selalu berada di antara dua tingkatan : yang meringankan dan yang memberatkan. Begitu juga setiap mukallaf (orangyang berlaku padanya perintah dan larangan syariat) di setiap tempat dan zaman, pasti tidak keluar dari dua kategori: yang kuat dan yang lemah, ditinjau dari segi keimanan maupun fisiknya. Barang siapa termasuk yang kuat (imannya dan / atau fisiknya), maka ia dianjurkan memilih Ketentuan yang lebih berat dan berpegang pada yang bersifat ‘azīmah (yakni memerlukan usaha dan tekad kuat). Dan barang siapa termasuk yang lemah imannya dan / atau fisiknya), maka ia dibolehkan memilih Ketentuan yang meringankan, dan bepegang pada yang bersifat rukhshah (keringanan yang diizinkan karena alasan-alasan tertentu).
Misalnya fatwa-fatwa yang berkaitan dengan persyaratan sahnya pernikahan yang saling bertentangan seperti itu, yang Kebanyakan akibat perbedaan interpretasi sekitar nash-nash dalam al-Qur’an dan Sunnah, sehingga menyebabkan para imam pemberi fatwa menggunakan pemikiran mereka sesuai dengan kebutuhan di masa-masanya masing-masing, dan jika hasil Ijtihad mereka itu ternyata tidak seragam, maka yang demikian itu, adalah semata-mata akibat perbedaan latar belakang pendidikan, pengalaman, kondisi masyarakat dan sebagainya. Maka tidaklah mengherankan bilamana sebagian dari pendapat-pendapat tersebut adakalanya bahkan sering kali tidak mampu mengikuti cepatnya arus perubahan dan perkembangan zaman.
Itulah sebabnya ibn Qāyyim dalam I’lām al-Muwaqqi’īn menerangkan tentang perlunya perubahan fatwa bersamaan dengan perubahan tempat dan waktu. Maka kewajiban kita dimasa ini ialah meninjau kembali manakah di antara fatwa-fatwa para fuqaha terdahulu yang masih dapat dipertahankan dan mana pula yang harus diganti, atau dilengkapi dengan persyaratan-persyaratan khusus yang sesuai dengan perubahan zaman, dan lebih memenuhi tujuan utama syari’at, dalam mengutamakan kemaslahatan kaum Muslim secara khusus, dan umat manusia secara umum.
Pembahasan.
Makna/maksud dari kaidah :
Adanya perubahan kondisi, keadaan, waktu, dan tempat, berpengaruh sangat besar terhadap banyak hukum-hukum syari’at yang bersifat ijtihādiyyah, bila saja adat dan kebiasaan masyarakat dapat menjadi sebuah hukum, yang kemudian hukum tersebut berubah disebabkan adat dan kebiasaan yang lain, maka sesungguhnya hukum tersebut mengalami perubahan sesuai dengan apa yang cocok dengan adat dan kebiasaan tempat perpindahan hukum tersebut.
Adapun hukum yang ditetapkan dengan al-naş maka tidak mengalami perubahan. Misalnya ketika syari’at memberikan pilihan bagi seseorang yang telah membeli barang yang belum pernah dilihatnya sebelumnya, sesuai dengan hadiś Nabi saw. :
مَنِ اشْتَرَ شَيْئًا لَمْ يَرَهُ فَلَهُ الْخِيَارُ إِذَا رَآهُ
“Barangsiapa yang membeli sesuatu yang belum pernah dilihatnya, maka baginya pilihan setelah melihatnya”.
Berdasarkan hadiś ini, jika sebuah perumahan dibangun dengan type/model yang sama, maka menurut para fuqaha terdahulu, tidak ada pilihan bagi pembeli setelah cukup dengan melihat salah satu dari rumah-rumah tersebut sebagai contoh sesuai dengan kebiasaan yang ada. Akan tetapi jika perumahan tersebut memiliki banyak type/model, maka fuqaha kontemporer lebih menguatkan pendapat Zufar, bahwasanya harus melihat seluruh type rumah agar dapat menggugurkan hak pilihan bagi si pembeli. Perbedaan pendapat ini, bukanlah perbedaan pada wilayah argumentasi atau dalil, tetapi perbedaan masa dan waktu.
Hal ini dapat diterima dan merupakan sunnatullāh bagi para hamba-Nya. Ketika Allah swt. mengawali penciptaan manusia, kondisi yang sempit ketika itu dengan sedikitnya umat manusia, maka Allah menghalalkan pernikahan laki-laki dan perempuan sesama saudara sekandung, dan meluaskan hukum dalam banyak permasalahan. Hal tersebut berlangsung sampai meluasnya penyebaran manusia, hingga Allah mengharamkan pernikahan sedarah tersebut di masa Bani Israil, kemudian seterusnya mengharamkan bagi mereka lemak dan daging onta, dan sebagainya.
Pada syari’at terdahulu, taubatnya seorang manusia yaitu dengan membunuh dirinya, cara menghilangkan najis pada badan atau pakaian dengan memotong bagian tersebut, dan sebagainya. Kemudian berlalunya waktu, umat manusia tidak kuat dengan hal-hal semacam di atas, maka dengan Maha Lembut-Nya Allah swt. meringankan para hambanya dengan menghalalkan yang sebelumnya diharamkan, menerima taubat manusia tanpa harus bunuh diri, menghilangkan najis tanpa harus memotong anggota badan atau pakaian, dll. Semua hal tersebut disebabkan adanya perbedaan dan perjalanan waktu, tempat, kondisi, dan merupakan sunnatullāh bagi para hamba-Nya.
Hukum-hukum seputar perbedaan masa dan kondisi harus berlaku pada hal-hal yang dikuatkan dengan kaidah-kaidah syara’, atau berdasarkan pertimbangan al-maşlahah al-mursalah, yaitu tidak disebutkan kebolehan dan pelarangannya dalam syari’at, namun bermanfaat bagi umat manusia. Maka hal tersebut dibolehkan walaupun belum ada dasar sebelumnya dalam syari’at, sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar al-şiddiq ketika mewasiatkan khilafah kepada ‘Umar, ketika para sahabat membiarkan khalifah pengganti Nabi saw. dimusyawarahkan oleh enam sahabat saja, membangun perkantoran, membuat mata uang, mendirikan penjara-penjara, dll, yang disebabkan adanya perubahan kondisi dan waktu, walau tidak terdapat perintah dari Syāri’, juga bukan qiyās dari masalah sebelumnya, tetapi berdasarkan kemaslahatan.
Para fuqaha berbagai mazhab juga telah mendasari pendapat mereka berdasarkan al-maşlahah al-mursalah, yang ditandai dengan banyaknya fatwa-fatwa mereka dengan melihat pada kemaslahatan, sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Qarāfi dan Ibnu Daqiq al-‘Ied yang mengambil dari riwayat al-Syaukāni yang mengatakan dalam kitabnya “Irsyād al-Fuhūl”, : “Tidak diragukan bahwasanya Imam Mālik lebih kuat pendapatnya dalam hal ini dari para fuqaha lainnya, yang disusul oleh Ahmad bin Hanbal, bisa saja ada pendapat selain mereka, namun mereka berdua yang lebih kuat dalam permasalahan ini”.
Syarat-syarat beramal dengan pertimbangan kemaslahatan
Para fuqaha telah menetapkan syarat-syarat yang membolehkan amalan dengan dasar kemaslahatan, antara lain:
1. Jelas kemaslahatannya dan bukan sesuatu yang samara-samar atau perkiraan. Bahwa menetapkan hukum tersebut mendatangkan manfaat atau mencegah kemudaratan, dengan demikian Syāri’ menginginkan pelaksanaan setiap maslahat.
2. Kemaslahatan yang jelas tersebut bersifat umum. Bukan kemaslahatan pribadi, maka menetapkan hukum tersebut bermanfaat bagi kebanyakan orang dan mencegah/menolak kemudaratan bagi banyak orang.
3. Kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan naş atau ijmā’. Apabila bertentangan, maka kemungkinan besar kemaslahatan tersebut masih samar-samar atau bersifat perkiraan belaka. Dengan demikian, tidak dapat disamakan antara kemaslahatan yang jelas dan sesuai naś dan ijmā’, dengan kemaslahatan yang bersifat perkiraan belaka.
Sebab-sebab adanya perubahan hukum :
1. Zaman yang penuh dengan kerusakan dan penyimpangan manusia ketika itu dari syari’at yang benar.
2. Adanya perubahan adat istiadat, kebiasaan, dan kemajuan zaman.
Diantara contoh-contohnya :
1. Orang yang banyak hutang, dibolehkan menghibahkan atau mewaqafkan hartanya, walaupun hutang-hutangnya tersebut sebanding dengan seluruh hartanya, sebab hutang terkait dengan persoalan kehormatan pribadinya, sementara dia bebas untuk mempergunakan hartanya. Hal ini bagian dari permasalahan qiyās. Akan tetapi dengan berlalunya waktu, zaman yang makin rusak, kehormatan sudah tidak berharga, ketamakan marajalela, berkurangnya sifat wara’, sehingga banyak pengutang yang melarikan dirinya dengan cara mewaqafkan atau menghibahkan hartanya kepada keluarga atau teman karibnya, akhirnya ulama kontemporer dari kalangan fuqaha Hanafiyah dan Hanābilah berpendapat bahwa si pengutang tidak boleh mempergunakan hartanya untuk apapun kecuali bila memiliki sisa harta setelah melunasi hutang-hutangnya.
2. Para fuqaha kontemporer juga telah berfatwa bahwa orang yang disuruh untuk membuat kerusakan juga harus membayar ganti rugi, hal ini disebabkan perubahan kondisi manusia, walaupun dalam kaidah dikatakan: “ganti rugi dibebankan bagi pelaku utama dan bukan atas orang yang menjadi sebab (yang disuruh)”.
Dengan demikian, maka hukum-hukum syari’at memudahkan untuk kemaslahatan umat manusia, sebab tidak semua hukum bersifat paten dan constant, akan tetapi hukum-hukum tersebut ada yang bersifat fleksibel yang berubah sesuai dengan perubahan kondisi, adat kebiasaan, kebutuhan manusia, kemaslahatan, kesulitan, dan pencegahan dari bahaya.
Dasar argumentasinya:
1. Apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Bukhari dalam kitab Tārikh-nya : “berkata Ali bin Abi Thalib: Ya Rasūlullāh, apabila engkau mengutusku pada suatu masalah, apakah saya menjadi seorang pengacara/pembela atau saksi yang melihat apa yang tidak dilihat orang lain ? Maka Nabi saw. bersabda: Jadilah saksi yang melihat apa yang tidak dilihat orang lain”. Maksudnya, Ali ingin memperjelas dari Rasulullah, apakah hukum syar’I seperti seorang pengacara/hakim yang menvonis yang tidak dapat berubah, tidak ada wilayah ijtihad, atau berijtihad dengan apa yang riil, maka Nabi menjawab bahwa hukum dapat berubah dengan perubahan kondisi dan waktu.
2. Ketika Umar bin Khattāb tiba di Syām, dan mendapati Mu’awiyah bin Abi Sufyan telah membuat pembatas (benteng/istana), memakai kendaraan yang mewah, pakaian yang mahal, keadaannya tidak seperti keadaan para pemimpin kaum muslimin sebelumnya. Umar pun bertanya kpadanya tentang sebab demikian, maka Mu’awiah benjawab: “Sesungguhnya kami hidup di negeri yang membutuhkan hal-hal itu”. Berkata Umar: “Saya tidak memerintahkan kepadamu hal demikian juga tidak melarangmu”.
Al-Qarāfi (mengomentari kejadian tersebut) berkata: maksud Umar, kamu (Mu’awiyah) lebih mengetahui mengenai kondisimu, apakah kamu membutuhkannya maka hal itu menjadi baik, atau tidak membutuhkannya maka hal itu menjadi jelek. Maka Umar dan selainya berpendapat bahwa kondisi para pemimpin berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan masa, tempat, situasi dan kondisi. Olehnya itu, bisa saja saat ini kita membutuhkan pembaruan yang belum terdapat pada masa lalu.
3. Masa setelah Tabi’in juga demikian, yang berfatwa atas bolehnya mengambil upah dari pengajaran al-Qur’an, Imam Masjid, Tukang Adzan, dll. Yang mana hal tersebut tidak dibolehkan berdasarkan apa yang disepakati dari Imam Abu Hanifah dan dua sahabatnya (Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan).
4. Nabi saw. pernah melarang perkataan-perkataan beliau ditulis, namun kemudian dibukukan oleh para ulama atas perintah Umar bin Abdul Aziz.
5. Sebelumnya, penulisan al-Qur’an pada dedaunan, kemudian dicetak di atas kertas, dibangunnya sekolah, universitas dengan berbagai jurusan, tingkatan-tingkatan pendidikan, dll.
Menurut Ibnu al-Qayyim: Hukum dapat dibagi menjadi dua bagian:
Pertama. Hukum yang tidak mengalami perubahan, walaupun adanya perubahan zaman, tempat, tidak juga ijtihad para ulama, seperti pada masalah kewajiban hal-hal yang diwajibkan naş dan pengharaman, hukuman-hukuman yang telah ditetapkan dalam syari’at, dll. Maka tidak adanya perubahan hukum atau ijtihad ulama dalam masalah ini.
Kedua. Hukum yang berubah disebabkan adanya manfaat/maslahat. Seperti ancaman dibunuh bagi peminum khamar yang sudah dipeingati sebanyak empat kali, ancaman membakar rumah orang-orang yang tidak menghadiri shalat jama’ah di masjid, seandainya tidak dilarang, maka hal itu dapat membawa mudarat bagi wanita, istri dan anggota keluarga mereka
Demikian pula yang dikerjakan para sahabat Nabi sepeninggal beliau. Misalnya Umar bin Khattab yang memenggal kepala, memenjarakan, memukuli, peminum khamar, membakar kampung-kampung tempat produksi khamar. Umar juga membakar istananya Sa’ad bin Abi Waqqaş karena menolak menjadi pemimpin. dll.
DAFTAR PUSTAKA
Disadur dan dirangkum dari, ‘Abdul Azīz Muḥammad Azzām, Qawā’idu al-Fiqhi al-Islāmī: Dirāsah ‘Ilmiyyah Taḥlīliyyah Muqāranah, (t. Cet; ‘Ain Syams: Maktab al-Risālah al-Dauliyyah, 1998-1999
A. Pendahuluan.
“Agama itu mudah . siapapun yang hendak membuatnya sulit, niscaya akan dikalahkannya (HR. Bukhari)
“Mudahkanlah; jangan menyulitkan. Tebarkanlah optimesme; jangan membuat orang menjadi pesimis” (HR. Bukhari dan Muslim)
Begitulah yang dapat kita ketahui di antara hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. Dan masih banyak lagi yang mengandung pengertian seperti itu, dan sudah barang tentu, pengertian seperti ini, beliau (Muhammad saw) pengertian seperti ini, beliau simpulkan dari wahyu Allah SWT, berupa ayat-ayat al-Qur’an, maupun hadits-hadits Qudsiy, yang menegaskan bahwa perintah-perintah Allah semuanya adalah ringan dan mudah dikerjakan; tak mungkin menjadi beban menyulitkan bagi siapa saja yang hendak melaksanakannya.
Diantara firman Allah SWT QS. al-Baqarah (2): 286, al-Baqarah (2): 185 serta al-Hajj (22): 78, begiu pula dengan doa-doa yang diajarkan kepada kita dalam al-Qur’an yang bunyi : ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan atas diri kami beban yang berat, sebagaimana Engkau bebankan atas orang-orang sebeum kami. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan atas kami diri kami apa yang tak sanggup kami memikulnya…maafkanlah kami, ampunilah kami dan rahmatilah kami. (QS. al-Baqarah (2): 286
Begitulah nuansa kemudahan agama yang dapat kita tangkap ketika menyimak kedua sumber utamanya : al-Qur’an dan as-Sunnah.
Dalam setiap perintah dan larangan, Ketentuan syari’at Islam selalu berada di antara dua tingkatan : yang meringankan dan yang memberatkan. Begitu juga setiap mukallaf (orangyang berlaku padanya perintah dan larangan syariat) di setiap tempat dan zaman, pasti tidak keluar dari dua kategori: yang kuat dan yang lemah, ditinjau dari segi keimanan maupun fisiknya. Barang siapa termasuk yang kuat (imannya dan / atau fisiknya), maka ia dianjurkan memilih Ketentuan yang lebih berat dan berpegang pada yang bersifat ‘azīmah (yakni memerlukan usaha dan tekad kuat). Dan barang siapa termasuk yang lemah imannya dan / atau fisiknya), maka ia dibolehkan memilih Ketentuan yang meringankan, dan bepegang pada yang bersifat rukhshah (keringanan yang diizinkan karena alasan-alasan tertentu).
Misalnya fatwa-fatwa yang berkaitan dengan persyaratan sahnya pernikahan yang saling bertentangan seperti itu, yang Kebanyakan akibat perbedaan interpretasi sekitar nash-nash dalam al-Qur’an dan Sunnah, sehingga menyebabkan para imam pemberi fatwa menggunakan pemikiran mereka sesuai dengan kebutuhan di masa-masanya masing-masing, dan jika hasil Ijtihad mereka itu ternyata tidak seragam, maka yang demikian itu, adalah semata-mata akibat perbedaan latar belakang pendidikan, pengalaman, kondisi masyarakat dan sebagainya. Maka tidaklah mengherankan bilamana sebagian dari pendapat-pendapat tersebut adakalanya bahkan sering kali tidak mampu mengikuti cepatnya arus perubahan dan perkembangan zaman.
Itulah sebabnya ibn Qāyyim dalam I’lām al-Muwaqqi’īn menerangkan tentang perlunya perubahan fatwa bersamaan dengan perubahan tempat dan waktu. Maka kewajiban kita dimasa ini ialah meninjau kembali manakah di antara fatwa-fatwa para fuqaha terdahulu yang masih dapat dipertahankan dan mana pula yang harus diganti, atau dilengkapi dengan persyaratan-persyaratan khusus yang sesuai dengan perubahan zaman, dan lebih memenuhi tujuan utama syari’at, dalam mengutamakan kemaslahatan kaum Muslim secara khusus, dan umat manusia secara umum.
Pembahasan.
Makna/maksud dari kaidah :
Adanya perubahan kondisi, keadaan, waktu, dan tempat, berpengaruh sangat besar terhadap banyak hukum-hukum syari’at yang bersifat ijtihādiyyah, bila saja adat dan kebiasaan masyarakat dapat menjadi sebuah hukum, yang kemudian hukum tersebut berubah disebabkan adat dan kebiasaan yang lain, maka sesungguhnya hukum tersebut mengalami perubahan sesuai dengan apa yang cocok dengan adat dan kebiasaan tempat perpindahan hukum tersebut.
Adapun hukum yang ditetapkan dengan al-naş maka tidak mengalami perubahan. Misalnya ketika syari’at memberikan pilihan bagi seseorang yang telah membeli barang yang belum pernah dilihatnya sebelumnya, sesuai dengan hadiś Nabi saw. :
مَنِ اشْتَرَ شَيْئًا لَمْ يَرَهُ فَلَهُ الْخِيَارُ إِذَا رَآهُ
“Barangsiapa yang membeli sesuatu yang belum pernah dilihatnya, maka baginya pilihan setelah melihatnya”.
Berdasarkan hadiś ini, jika sebuah perumahan dibangun dengan type/model yang sama, maka menurut para fuqaha terdahulu, tidak ada pilihan bagi pembeli setelah cukup dengan melihat salah satu dari rumah-rumah tersebut sebagai contoh sesuai dengan kebiasaan yang ada. Akan tetapi jika perumahan tersebut memiliki banyak type/model, maka fuqaha kontemporer lebih menguatkan pendapat Zufar, bahwasanya harus melihat seluruh type rumah agar dapat menggugurkan hak pilihan bagi si pembeli. Perbedaan pendapat ini, bukanlah perbedaan pada wilayah argumentasi atau dalil, tetapi perbedaan masa dan waktu.
Hal ini dapat diterima dan merupakan sunnatullāh bagi para hamba-Nya. Ketika Allah swt. mengawali penciptaan manusia, kondisi yang sempit ketika itu dengan sedikitnya umat manusia, maka Allah menghalalkan pernikahan laki-laki dan perempuan sesama saudara sekandung, dan meluaskan hukum dalam banyak permasalahan. Hal tersebut berlangsung sampai meluasnya penyebaran manusia, hingga Allah mengharamkan pernikahan sedarah tersebut di masa Bani Israil, kemudian seterusnya mengharamkan bagi mereka lemak dan daging onta, dan sebagainya.
Pada syari’at terdahulu, taubatnya seorang manusia yaitu dengan membunuh dirinya, cara menghilangkan najis pada badan atau pakaian dengan memotong bagian tersebut, dan sebagainya. Kemudian berlalunya waktu, umat manusia tidak kuat dengan hal-hal semacam di atas, maka dengan Maha Lembut-Nya Allah swt. meringankan para hambanya dengan menghalalkan yang sebelumnya diharamkan, menerima taubat manusia tanpa harus bunuh diri, menghilangkan najis tanpa harus memotong anggota badan atau pakaian, dll. Semua hal tersebut disebabkan adanya perbedaan dan perjalanan waktu, tempat, kondisi, dan merupakan sunnatullāh bagi para hamba-Nya.
Hukum-hukum seputar perbedaan masa dan kondisi harus berlaku pada hal-hal yang dikuatkan dengan kaidah-kaidah syara’, atau berdasarkan pertimbangan al-maşlahah al-mursalah, yaitu tidak disebutkan kebolehan dan pelarangannya dalam syari’at, namun bermanfaat bagi umat manusia. Maka hal tersebut dibolehkan walaupun belum ada dasar sebelumnya dalam syari’at, sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar al-şiddiq ketika mewasiatkan khilafah kepada ‘Umar, ketika para sahabat membiarkan khalifah pengganti Nabi saw. dimusyawarahkan oleh enam sahabat saja, membangun perkantoran, membuat mata uang, mendirikan penjara-penjara, dll, yang disebabkan adanya perubahan kondisi dan waktu, walau tidak terdapat perintah dari Syāri’, juga bukan qiyās dari masalah sebelumnya, tetapi berdasarkan kemaslahatan.
Para fuqaha berbagai mazhab juga telah mendasari pendapat mereka berdasarkan al-maşlahah al-mursalah, yang ditandai dengan banyaknya fatwa-fatwa mereka dengan melihat pada kemaslahatan, sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Qarāfi dan Ibnu Daqiq al-‘Ied yang mengambil dari riwayat al-Syaukāni yang mengatakan dalam kitabnya “Irsyād al-Fuhūl”, : “Tidak diragukan bahwasanya Imam Mālik lebih kuat pendapatnya dalam hal ini dari para fuqaha lainnya, yang disusul oleh Ahmad bin Hanbal, bisa saja ada pendapat selain mereka, namun mereka berdua yang lebih kuat dalam permasalahan ini”.
Syarat-syarat beramal dengan pertimbangan kemaslahatan
Para fuqaha telah menetapkan syarat-syarat yang membolehkan amalan dengan dasar kemaslahatan, antara lain:
1. Jelas kemaslahatannya dan bukan sesuatu yang samara-samar atau perkiraan. Bahwa menetapkan hukum tersebut mendatangkan manfaat atau mencegah kemudaratan, dengan demikian Syāri’ menginginkan pelaksanaan setiap maslahat.
2. Kemaslahatan yang jelas tersebut bersifat umum. Bukan kemaslahatan pribadi, maka menetapkan hukum tersebut bermanfaat bagi kebanyakan orang dan mencegah/menolak kemudaratan bagi banyak orang.
3. Kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan naş atau ijmā’. Apabila bertentangan, maka kemungkinan besar kemaslahatan tersebut masih samar-samar atau bersifat perkiraan belaka. Dengan demikian, tidak dapat disamakan antara kemaslahatan yang jelas dan sesuai naś dan ijmā’, dengan kemaslahatan yang bersifat perkiraan belaka.
Sebab-sebab adanya perubahan hukum :
1. Zaman yang penuh dengan kerusakan dan penyimpangan manusia ketika itu dari syari’at yang benar.
2. Adanya perubahan adat istiadat, kebiasaan, dan kemajuan zaman.
Diantara contoh-contohnya :
1. Orang yang banyak hutang, dibolehkan menghibahkan atau mewaqafkan hartanya, walaupun hutang-hutangnya tersebut sebanding dengan seluruh hartanya, sebab hutang terkait dengan persoalan kehormatan pribadinya, sementara dia bebas untuk mempergunakan hartanya. Hal ini bagian dari permasalahan qiyās. Akan tetapi dengan berlalunya waktu, zaman yang makin rusak, kehormatan sudah tidak berharga, ketamakan marajalela, berkurangnya sifat wara’, sehingga banyak pengutang yang melarikan dirinya dengan cara mewaqafkan atau menghibahkan hartanya kepada keluarga atau teman karibnya, akhirnya ulama kontemporer dari kalangan fuqaha Hanafiyah dan Hanābilah berpendapat bahwa si pengutang tidak boleh mempergunakan hartanya untuk apapun kecuali bila memiliki sisa harta setelah melunasi hutang-hutangnya.
2. Para fuqaha kontemporer juga telah berfatwa bahwa orang yang disuruh untuk membuat kerusakan juga harus membayar ganti rugi, hal ini disebabkan perubahan kondisi manusia, walaupun dalam kaidah dikatakan: “ganti rugi dibebankan bagi pelaku utama dan bukan atas orang yang menjadi sebab (yang disuruh)”.
Dengan demikian, maka hukum-hukum syari’at memudahkan untuk kemaslahatan umat manusia, sebab tidak semua hukum bersifat paten dan constant, akan tetapi hukum-hukum tersebut ada yang bersifat fleksibel yang berubah sesuai dengan perubahan kondisi, adat kebiasaan, kebutuhan manusia, kemaslahatan, kesulitan, dan pencegahan dari bahaya.
Dasar argumentasinya:
1. Apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Bukhari dalam kitab Tārikh-nya : “berkata Ali bin Abi Thalib: Ya Rasūlullāh, apabila engkau mengutusku pada suatu masalah, apakah saya menjadi seorang pengacara/pembela atau saksi yang melihat apa yang tidak dilihat orang lain ? Maka Nabi saw. bersabda: Jadilah saksi yang melihat apa yang tidak dilihat orang lain”. Maksudnya, Ali ingin memperjelas dari Rasulullah, apakah hukum syar’I seperti seorang pengacara/hakim yang menvonis yang tidak dapat berubah, tidak ada wilayah ijtihad, atau berijtihad dengan apa yang riil, maka Nabi menjawab bahwa hukum dapat berubah dengan perubahan kondisi dan waktu.
2. Ketika Umar bin Khattāb tiba di Syām, dan mendapati Mu’awiyah bin Abi Sufyan telah membuat pembatas (benteng/istana), memakai kendaraan yang mewah, pakaian yang mahal, keadaannya tidak seperti keadaan para pemimpin kaum muslimin sebelumnya. Umar pun bertanya kpadanya tentang sebab demikian, maka Mu’awiah benjawab: “Sesungguhnya kami hidup di negeri yang membutuhkan hal-hal itu”. Berkata Umar: “Saya tidak memerintahkan kepadamu hal demikian juga tidak melarangmu”.
Al-Qarāfi (mengomentari kejadian tersebut) berkata: maksud Umar, kamu (Mu’awiyah) lebih mengetahui mengenai kondisimu, apakah kamu membutuhkannya maka hal itu menjadi baik, atau tidak membutuhkannya maka hal itu menjadi jelek. Maka Umar dan selainya berpendapat bahwa kondisi para pemimpin berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan masa, tempat, situasi dan kondisi. Olehnya itu, bisa saja saat ini kita membutuhkan pembaruan yang belum terdapat pada masa lalu.
3. Masa setelah Tabi’in juga demikian, yang berfatwa atas bolehnya mengambil upah dari pengajaran al-Qur’an, Imam Masjid, Tukang Adzan, dll. Yang mana hal tersebut tidak dibolehkan berdasarkan apa yang disepakati dari Imam Abu Hanifah dan dua sahabatnya (Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan).
4. Nabi saw. pernah melarang perkataan-perkataan beliau ditulis, namun kemudian dibukukan oleh para ulama atas perintah Umar bin Abdul Aziz.
5. Sebelumnya, penulisan al-Qur’an pada dedaunan, kemudian dicetak di atas kertas, dibangunnya sekolah, universitas dengan berbagai jurusan, tingkatan-tingkatan pendidikan, dll.
Menurut Ibnu al-Qayyim: Hukum dapat dibagi menjadi dua bagian:
Pertama. Hukum yang tidak mengalami perubahan, walaupun adanya perubahan zaman, tempat, tidak juga ijtihad para ulama, seperti pada masalah kewajiban hal-hal yang diwajibkan naş dan pengharaman, hukuman-hukuman yang telah ditetapkan dalam syari’at, dll. Maka tidak adanya perubahan hukum atau ijtihad ulama dalam masalah ini.
Kedua. Hukum yang berubah disebabkan adanya manfaat/maslahat. Seperti ancaman dibunuh bagi peminum khamar yang sudah dipeingati sebanyak empat kali, ancaman membakar rumah orang-orang yang tidak menghadiri shalat jama’ah di masjid, seandainya tidak dilarang, maka hal itu dapat membawa mudarat bagi wanita, istri dan anggota keluarga mereka
Demikian pula yang dikerjakan para sahabat Nabi sepeninggal beliau. Misalnya Umar bin Khattab yang memenggal kepala, memenjarakan, memukuli, peminum khamar, membakar kampung-kampung tempat produksi khamar. Umar juga membakar istananya Sa’ad bin Abi Waqqaş karena menolak menjadi pemimpin. dll.
DAFTAR PUSTAKA
Disadur dan dirangkum dari, ‘Abdul Azīz Muḥammad Azzām, Qawā’idu al-Fiqhi al-Islāmī: Dirāsah ‘Ilmiyyah Taḥlīliyyah Muqāranah, (t. Cet; ‘Ain Syams: Maktab al-Risālah al-Dauliyyah, 1998-1999
0 komentar:
Posting Komentar