AHLAN WASAHLAN

Selamat Datang dan terima kasih atas kunjungan anda pada blog-ku, ini merupakan mimbar diskusi bagi teman-teman dalam mendalami hukum Islam dan perundang-undangan yang berlaku saat ini!...untuk itu saran dan kritikan sangatlah saya harapkan dalam pengembangan kedepan..dan juga dalam kepahaman dalam menyikapi persoalan-persoalan yang berkembangan sekarang ini.........

Selasa, 15 April 2008

KAIDAH-KAIDAH HUKUM ISLAM

الأَمْرُ بِالشَّيْءِ أَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ

Perintah terhadap sesuatu perbuatan berarti perintah juga bagi perkara-perkara yang menjadi perantara terlaksananya perbuatan tersebut

PENDAHULUAN
Dua unsur yang membedakan pengetahuan ilmiah dan pengetahuan pengalaman, ialah unsur informasi dan unsur metodologi. Kedua unsur tersebut merupakan pilar utama dalam bangunan atau badan pengetahuan ilmiyah, di samping unsur substansi. Oleh karena itu, pengembangan suatu disiplin ilmu identik dengan pengembangan kedua unsur tersebut.

Sementara itu, dalil dan teori merupakan dua unsur informasi yang paling terkenal, baik di kalangan masyarakat ilmiah maupun dalam masyarakat pada umumnya. Teori merupakan produk cara berfikir deduktif melalui kegiatan kontemplasi yang merujuk kepada aksioma tertentu. Teori juga merupakan produk cara berfikir induktif melalui kegiatan penelitian, yang merujuk kepada sejumlah data. Di sini tampak relasi antara unsur informasi dengan unsur metodologi. Teori dioperasionalisasi (“diturunkan”) dengan cara kerja unsur metodologi (berfikir deduksi). Sebaliknya, data digeneralisasi (“dinaikkan”) dengan cara kerja unsur metodologi (berfikir induksi).
Dalam struktur hukum Islam sebagai suatu kesatuan sistem (Islamic law system) terdiri atas empat unsur. Unsur pertama adalah sumber hukum yakni al-Qur’ān dan Sunnah, yang memuat berbagai dalil normatif. Unsur kedua adalah uşūl al-fiqh, yang memuat berbagai kaidah uşūl untuk diaplikasikan dalam penggalian hukum (intinbāţ al-aḥkām) dari dalil normatif tersebut. Unsur ketiga ialah fikih, yakni substansi fikih yang rinci (al-far’u) yang mencakup beberapa bidang (‘ibādah, munākaḥah, mawārīś, mu’āmalah, jināyah, siyāsah, dan ‘aqḍiyyah). Unsur keempat adalah kaidah fikih, yang disimpulkan dari substansi fikih.
Fikih yang dideduksi dari dalil-dalil dalam kedua sumber (al-Qur’an dan al-Sunnah) dengan menggunakan kaidah-kaidah uşūl, yang secara operasional dilakukan dengan metode istinbāţ hukum. Nah, disinilah wilayah pembahasan dalam makalah ini, dengan mencoba mengangkat sebuah kaidah diantara sekian banyak kaidah-kaidah uşūl yang ada. Kaidah tersebut ialah:

الأَمْرُ بِالشَّيْءِ أَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ
“Perintah terhadap sesuatu perbuatan berarti perintah juga bagi perkara-perkara yang menjadi perantara terlaksananya perbuatan tersebut”.

Dari kaidah uşūliyah inilah, muncul berbagai istinbāţ, penalaran, dan penetapan hukum terhadap penerapan dan aplikasi fikih daam kehidupan umat manusia.
Untuk membatasi penjabaran kaidah tersebut di atas dalam makalah ini, maka kami memfokuskan pembahasan pada:
• Wasīlah dalam pandangan ulama.
• Kedudukan dan aplikasi kaidah الأَمْرُ بِالشَّيْءِ أَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ .



PEMBAHASAN
Wasīlah dalam pandangan ulama
Wasīlah ialah perantara yang menyebabkan sesuatu perbuatan. Para ulama merumuskan wasīlah ini dalam kaidah :

الأَمْرُ بِالشَّيْءِ أَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ
“Perintah terhadap sesuatu perbuatan berarti perintah juga bagi perkara-perkara yang menjadi perantara terlaksananya perbuatan tersebut”.

Berdasarkan kaidah ini sesuatu perbuatan yang diperintahkan tidak akan terwujud kecuali dengan adanya perbuatan lain sebelumnya ataupun alat untuk mewujudkan perbuatan yang diperintahkan itu. Seperti perintah şalat berarti juga mengandung perintah ţahārah, karena şalat dianggap sempurna/sah apabila sebelumnya ber-ţahārah (berwuḍu,). Juga perintah naik rumah berarti juga perintah menegakkan tangga sebagai perantara naik rumah. Şalat dan naik rumah disebut maqāşid atau wājib muţlaq, dan wuḍu’ serta menegakkan tangga disebut wasīlah atau wājib muqayyad. Jadi baik maqāşid maupun wasīlah memiliki hukum yang sama. Atas dasar pertimbangan itulah para ulama merumuskan kaidah:
لِلْوَسَائِلِ حُكْمُ الْمَقَاصِدِ
“Perkara-perkara yang menjadi perantara suatu perbuatan sama hukumya dengan maksud atau tujuan perbuatan tersebut”.

Dari kaidah ini, kiranya dapat dipahami bahwa jika maqāşid-nya wājib maka wasīlah-nya juga wājib, dan jika maqāşid-nya haram maka wasīlah-nya juga haram, serta jika maqāşid-nya sunnah maka wasīlah-nya juga sunnah, dan seterusnya.
Sebagai contoh: A meminjamkan uang kepada B untuk berjudi, maka A juga berdosa sebagaimana B melakukan judi. Begitu juga sebaliknya, jika A membantu terlaksananya sesuatu kebajikan di jalan Allah maka si A pun mendapat pahala sebagaimana si B melakukan kebajikan itu. Hal itu sesuai dengan sabda Nabi saw.:
مَنْ دَلَّ عَلَي خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang memberi petunjuk (memberi pertolongan) kepada perbuatan yang baik maka baginya pahala seperti pahala yang mengerjakannya”. (HR. Muslim).

Berdasarkan pertimbangan itulah jumhūr al-‘ulamā’ berpendapat bahwa:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَجِبٌ
“Sesuatu perkara yang kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengannya, maka perkara tersebut juga merupakan kewajiban”

Dalam pandangan jumhūr al-‘ulamā’ ada lima macam wasīlah, yaitu :
1. وَسِيْلَةُ الشَّرْعِ (wasīlatu al-syar’i), yaitu perantara yang ditentukan oleh syara’. Misalnya: wuḍu’ menjadi perantara (wasīlah) bagi sempurnanya şalat.
2. وَسِيْلَةُ الْعَقْلِ (wasīlatu al-‘aqli), yaitu perantara yang ditentukan oleh akal. Misalnya: tidak membelakangi menjadi perantara bagi sempurnanya menghadap kiblat.
3. وَسِيْلَةُ الْعُرْفِ (wasīlatu al-‘urfi), yaitu perantara yang ditentukan oleh adat kebiasaan. Misalnya: memasang tangga menjadi perantara untuk menaiki loteng.
4. تَيَقُّنُ الإِسْتِفَاءِ (tayaqqunu al-istifā’i), yaitu hal yang dijalankan untuk meyakinkan sempurnanya sesuatu perbuatan. Misalnya: membasuh sebagian kepala (batas-batas tumbuhnya rambut) menjadi perantara bagi kewajiban membasuh muka dalam berwuḍu’. oleh karena sulit meneliti batas muka, maka untuk meyakinkan terbasuhnya seluruh muka kita harus membasuh sebagian kepala demi untuk menghilangkan keragu-raguan.
5. سَبَبُ الإِشْتِبَاهِ (sababu al-isytibāh), yaitu sebab adanya keserupaan yang mengharuskan menghilangkan sesuatu. Misalnya: ada dua orang wanita, yang satu bukan muhrim/mahram dan yang satunya seorang mahram, kedua-duanya sangat serupa sehingga sulit dibedakan antara mana yang mahram dan mana yang bukan mahram. Dalam kasus ini, kedua-duanya harus ditinggalkan (tidak boleh dikawini). Jadi keserupaan tadi menjadi perantara bagi meninggalkan semuanya (kedua-duanya). Demikian pula jika barang yang najis bercampur dengan barang yang suci sehingga sulit untuk dibedakan dan dipilah-pilah, maka semuanya harus ditinggalkan (jangan dimakan, dipakai, dan lain sebagainya).

Kedudukan dan aplikasi kaidah الأَمْرُ بِالشَّيْءِ أَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ
Secara umum kaidah ini (الأَمْرُ بِالشَّيْءِ أَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ ) merupakan bagian dari penjabaran dalam Bāb al-Amr (perintah) sekaligus juga dimasukkan oleh para ulama uşūl dalam Bāb al-Wujūb (kewajiban). Mengenai masalah al-amr sengaja tidak dibahas secara rinci dalam makalah ini agar tidak terdapat tumpang tindih dengan judul pada pembahasan sebelumnya ( الأمر بعد النهي يفيد الإباحة ).
Dari penjabaran kaidah uşūl ini ( الأمر بالشيء أمر بوسائله ) yang membahas tentang kedudukan wasīlah dalam suatu perbuatan, apakah masuk dalam kategori wajib atau sunnah, maka para ulama merincikannya dalam kaidah yang lebih jelas, yaitu:
مَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ وَ مَالاَ يَتِمُّ الْمَنْدُوْبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ مَنْدُوْبٌ
“Sesuatu yang tanpanya tidak sempurna suatu kewajiban maka perkara tersebut hukumnya wajib, dan sesuatu yang tanpanya tidak sempurna suatu amalan sunnah maka perkara tersebut hukumnya sunnah”
• Definisi Wājib
Definisi wajib bermacam-macam, menurut ‘Abdul Wahhāb Khallāf, wājib menurut syari’at adalah:
مَا طَلَبَ الشَّارِعُ فِعْلَهُ مِنَ الْمُكَلَّفِ طَلَبًا حَتْمًا
“Perbuatan yang dituntut oleh Syāri’ untuk dilakukan mukallaf dengan tuntutan yang tegas”.

Tegas atau tidak tegasnya sebuah tuntutan dapat dilihat dari bentuk kalimat pada dalil-dalil syar’I sebagai sebuah qarīnah dalam menetapkan kewajiban suatu amalan, seperti:
  
“… Diwajibkan atas kamu berpuasa…”. (al-Baqarah (2):183).
Atau berbentuk perintah ( الأَمْرُ ) dan di dalam ayat-ayat di mana Allah swt. mengancam dengan siksaan bagi orang yang meninggalkannya.
Menurut Imām al-Gazāli dalam memberikan definisi wajib adalah: مَا أَشْعَرَ بِالْعُقُوْبَةِ عَلَي تَرْكِهَا “wajib ialah yang dirasakan ada sanksinya apabila ditinggalkan”. Definisi al-Gazāli ini menggambarkan tentang eratnya hubungan hukum dan moral di dalam sistem hukum Islam.
Definisi wajib yang paling terkenal ialah setiap perbuatan diberi pahala apabila dikerjakan dan diberi siska apabila ditinggalkan. Wajib menurut ulama sama artinya dengan farḍu, maḥtūm, dan lāzim. Imām Abū Hanīfah membedakan antara farḍu dan wājib. Meskipun perbedaan ini juga bersifat teoritis, sedangkan secara praktis tidak banyak berarti.

• Definisi Mandūb
Mandūb atau yang lebih dikenal dengan istilah perkara-perkara sunnah mempunyai beberapa pengertian, diantaranya:
﴿ الْمَنْدُوْبُ هُوَ مَا طَلَبَ الشَّارِعُ فِعْلَهُ طَلَبًا غَيْرَ لاَزِمٍ , أَوْ هُوَ مَا يُثَابُ فَاعِلُهُ وَلاَيُعَاقَبُ تَارِكُهُ , أَوْ هُوَ مَا يُمْدَحُ فَاعِلُهُ وَلاَ يُذَمُّ فِي الشَّرْعِ تَارِكُهُ , أَوْ هُوَ الرَّاجِحُ فِعْلُهُ مَعَ جَوَازِ تَرْكِهِ ﴾
“Mandūb adalah permintaan Syāri’ utuk melakukan sesuatu perbuatan dengan permintaan yang tidak tegas, atau sesuatu perbuatan di mana pelakunya mendapat pahala dan yang meminggalkannya tidak disiksa, atau perbuatan di mana pelakunya terpuji sedang yang meninggalkannya tidak tercela menurut syari’at, atau yang lebih baik/rājiḥ melakukannya dan boleh meninggalkannya”.

Diantara istilah-istilah lain dari al-mandūb antara lain: al-Sunnah, al-Nāfilah, al-Iḥsān, al-Mustaḥab, dan al-Taţauwu’.

• مَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ (Sesuatu yang tanpanya tidak sempurna suatu kewajiban maka perkara tersebut hukumnya wajib)

Kaidah ini mengandung dua pengertian yang dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama: Bagian yang di luar kemampuan hamba (mukallaf), seperti: tergelincirnya matahari sebagai tanda wajibnya şalat zuhur, atau orang yang tidak dapat menulis karena buntung kedua tangannya, atau kehadiran imam dan jumlah jama’ah yang tanpa mereka tidak sah şalat jum’at, maka tidak ada kemampuan mukallaf untuk memaksakan imam dan para jama’ah untuk hadir ke masjid melaksanakan şalat, hal ini tidak menyebabkan hukum wajibnya wasīlah.
Kedua: masih dalam kemampuan hamba (mukallaf), seperti: ţahārah ketika şalat, bersegera menghadiri şalat jum’at, membasuh sebagian kepala ketika berwuḍu’, mulai ber-imsāk ketika puasa pada bagian akhir malam, maka siapa yang mulai berpuasa setelah berakhirnya malam berarti ia telah masuk waktu siang, sebab tidak ada batasan antara siang dan malam. Contoh lain: nisāb dan ḥaul dalam kewajiban zakat māl, al-Istiţā’ah (kemampuan) dalam kewajiban ibadah haji, dll.
Maka kaidah مَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ dapat dikuatkan dengan dalil syar’I seperti berwuḍu’ untuk şalat, atau dengan dalil aqli seperti berjalan dalam menunaikan ibadah haji, atau berdasarkan ilmu dan keyakinan, seperti melaksanakan/menqaḍa’ lima waktu şalat sebab meninggalkan salah satunya tanpa mengetahui dengan pasti şalat apa yang ditinggalkannya, atau menutup sebagian lutut dengan tujuan untuk menutupi keseluruhan paha.
Indikasi dari kaidah مَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ “Sesuatu yang tanpanya tidak sempurna suatu kewajiban maka perkara tersebut hukumnya wajib” pada penerapannya akan melahirkan dua kaidah baru yaitu:
 مَالاَ يَتِمُّ الْمَنْدُوْبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ مَنْدُوْبٌ (sesuatu yang tanpanya tidak sempurna suatu amalan sunnah maka perkara tersebut hukumnya sunnah)
 مَالاَ يَتِمُّ تَرْكُ الْحَرَامِ إِلاَّ بِتَرْكِهِ فَتَرْكُهُ وَاجِبٌ (sesuatu perkara yang apabila tidak ditinggalkan, maka keharaman juga tidak dapat ditinggalkan, maka meninggalkan perkara tersebut hukumnya wajib)
Dengan demikian, perkara yang merupakan perantara dalam menyempurnakan suatu kewajiban, dapat dilihat pada dua sisi :
Pertama: al-Wasīlah dan segala yang harus didahulukan sebelum melaksanakan sesuatu. Misalnya: jika seandainya Tuhan memerintahkan untuk menyiksa si Zaid, sementara tidak ada cara lain untuk menyiksanya kecuali dengan memukulinya, maka pemukulan tersebut dapat membuat badannya tersiksa. Contoh lain: diharuskan dalam keadaan suci sebelum melaksanakan şalat, dll.
Berkenaan dengan masalah ţahārah sebelum melaksanakan şalat, maka hal tersebut sudah merupakan ijmā’ ulama, bahwa şalat tidak sempurna tanpa ţahārah dan semua dalil-dalil yang mewajibkan şalat juga mewajibkan ţahārah, sehingga untuk sahnya şalat maka wajib dalam kondisi ţahārah.
Kedua: yang tidak termasuk wasīlah. Jika seseorang meninggalkan satu dari lima waktu şalat farḍu, namun ia tidak mengetahui dengan pasti tentang şalat apa dari kelima itu yang telah ia tinggalkan, maka wajib baginya untuk melaksanakan kelima şalat tersebut.
Adapun penerapan kaidah مَالاَ يَتِمُّ تَرْكُ الْحَرَامِ إِلاَّ بِتَرْكِهِ فَتَرْكُهُ وَاجِبٌ (sesuatu perkara yang apabila tidak ditinggalkan, maka keharaman juga tidak dapat ditinggalkan, maka meninggalkan perkara tersebut hukumnya wajib). Misalnya: apabila bercampur antara saudara perempuan yang mahram dan wanita yang bukan mahram, atau bercampurnya bangkai hewan dengan hewan sembelihan, dan sulit untuk membedakan antara keduanya, maka harus ditinggalkan kedua-duanya (tidak mengawini salah satu dari wanita-wanita tersebut, dan tidak memakan semua daging hewan tersebut). Sebab kita tidak dapat menghilangkan atau meninggalkan sesuatu yang haram (yaitu memakan bangkai dan menikahi mahram) kecuali dengan meninggalkan semuanya, maka meninggalkan semua perkara tersebut wajib hukumnya.

C. PENUTUP
Berdasarkan pembahasan yang singkat di atas, maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
• Dalam pandangan jumhūr al-‘ulamā’ ada lima macam wasīlah, yaitu:
 وَسِيْلَةُ الشَّرْعِ (wasīlatu al-syar’i),
 وَسِيْلَةُ الْعَقْلِ (wasīlatu al-‘aqli)
 وَسِيْلَةُ الْعُرْفِ (wasīlatu al-‘urfi),
 تَيَقُّنُ الإِسْتِفَاءِ (tayaqqunu al-istifā’i),
 سَبَبُ الإِشْتِبَاهِ (sababu al-isytibāh),
• Kaidah uşūliyah yang berbunyi: الأَمْرُ بِالشَّيْءِ أَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ “Perintah terhadap sesuatu perbuatan berarti perintah juga bagi perkara-perkara yang menjadi perantara terlaksananya perbuatan tersebut”. Dalam penerapannya, kaidah ini dapat dirinci dalam tiga kaidah yang lebih bersifat khusus, yaitu:
 مَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ (Sesuatu yang tanpanya tidak sempurna suatu kewajiban maka perkara tersebut hukumnya wajib).
 مَالاَ يَتِمُّ الْمَنْدُوْبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ مَنْدُوْبٌ (sesuatu yang tanpanya tidak sempurna suatu amalan sunnah maka perkara tersebut hukumnya sunnah).
 مَالاَ يَتِمُّ تَرْكُ الْحَرَامِ إِلاَّ بِتَرْكِهِ فَتَرْكُهُ وَاجِبٌ (sesuatu perkara yang apabila tidak ditinggalkan, maka keharaman juga tidak dapat ditinggalkan, maka meninggalkan perkara tersebut hukumnya wajib).


DAFTAR PUSTAKA

Al-Aşfahāni, Syamsuddīn Maḥmūd ‘Abdurraḥmān. Syarḥu al-Minhāj li al-Baiḍāwi fī ‘Ilmi al-Uśūl. Juz. I., Cet. I; Riyāḍ: Maktabah al-Rusyd, 1420 H/1999 M.

Al-Dimasyqi, ‘Abdul Qādir bin Aḥmad bin Muşţafā Badrān al-Daumi. Nuzhatu al-Khāţiri al-‘Āţiri: Syarḥu Kitāb Rauḍatu al-Nāziri wa Junnatu al-Munāzir. Juz. I., Cet. I; Beirūt: Dār al-Hadīś, 1412 H/ 1991 M.

Al-Rāzi, Fakhruddīn Muḥammad bin ‘Umar bin al-Ḥusain. Al-Maḥşūl fī ‘Ilmi Uşūl al-Fiqhi. Juz. II., Cet. III; Beirūt: Mu’assasah al-Risālah, 1418 H/1997 M.

Al-Syinqīţi, Muḥammad al-Amīn bin Muḥammad al-Mukhtar. Mużakkirah fī Uşūl al-Fiqhi. Cet. IV; Dimasyqi: Dār al-‘Ulūm wa al-Ḥikam, 1425 H/2004 M.

Azzām, ‘Abdul Azīz Muḥammad. Qawā’idu al-Fiqhi al-Islāmī: Dirāsah ‘Ilmiyyah Taḥlīliyyah Muqāranah. t. Cet; ‘Ain Syams: Maktab al-Risālah al-Dauliyyah, 1998-1999.

Bisri, Cik Hasan. Model Penelitian Fiqh: Paradigma Penelitian Fiqh dan Fiqh Penelitian. Ed. 1., Jilid. I., Cet. I; Bogor: Kencana, 2003.

Djazuli, HA., dan I. Nurul Aen. Uşūl Fiqh: Metodologi Hukum Islam. Ed. I., Cet. I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.

Kementrian Urusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia. Al-Qur’ān dan Terjemahnya. t. Cet; Madinah: Percetakan al-Qur’ān al-Karim Raja Fahd, 1426H.

Khallāf, ‘Abdul Wahhāb. ‘Ilmu Uşūl al-Fiqhi. Cet. XI; Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islāmiyyah, 1397 H/1977 M.


0 komentar:

Template by - Abdul Munir | Daya Earth Blogger Template