AHLAN WASAHLAN

Selamat Datang dan terima kasih atas kunjungan anda pada blog-ku, ini merupakan mimbar diskusi bagi teman-teman dalam mendalami hukum Islam dan perundang-undangan yang berlaku saat ini!...untuk itu saran dan kritikan sangatlah saya harapkan dalam pengembangan kedepan..dan juga dalam kepahaman dalam menyikapi persoalan-persoalan yang berkembangan sekarang ini.........

Selasa, 15 April 2008

KAIDAH-KAIDAH HUKUM ISLAM

الأَمْرُ بِالشَّيْءِ أَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ

Perintah terhadap sesuatu perbuatan berarti perintah juga bagi perkara-perkara yang menjadi perantara terlaksananya perbuatan tersebut

PENDAHULUAN
Dua unsur yang membedakan pengetahuan ilmiah dan pengetahuan pengalaman, ialah unsur informasi dan unsur metodologi. Kedua unsur tersebut merupakan pilar utama dalam bangunan atau badan pengetahuan ilmiyah, di samping unsur substansi. Oleh karena itu, pengembangan suatu disiplin ilmu identik dengan pengembangan kedua unsur tersebut.

Sementara itu, dalil dan teori merupakan dua unsur informasi yang paling terkenal, baik di kalangan masyarakat ilmiah maupun dalam masyarakat pada umumnya. Teori merupakan produk cara berfikir deduktif melalui kegiatan kontemplasi yang merujuk kepada aksioma tertentu. Teori juga merupakan produk cara berfikir induktif melalui kegiatan penelitian, yang merujuk kepada sejumlah data. Di sini tampak relasi antara unsur informasi dengan unsur metodologi. Teori dioperasionalisasi (“diturunkan”) dengan cara kerja unsur metodologi (berfikir deduksi). Sebaliknya, data digeneralisasi (“dinaikkan”) dengan cara kerja unsur metodologi (berfikir induksi).
Dalam struktur hukum Islam sebagai suatu kesatuan sistem (Islamic law system) terdiri atas empat unsur. Unsur pertama adalah sumber hukum yakni al-Qur’ān dan Sunnah, yang memuat berbagai dalil normatif. Unsur kedua adalah uşūl al-fiqh, yang memuat berbagai kaidah uşūl untuk diaplikasikan dalam penggalian hukum (intinbāţ al-aḥkām) dari dalil normatif tersebut. Unsur ketiga ialah fikih, yakni substansi fikih yang rinci (al-far’u) yang mencakup beberapa bidang (‘ibādah, munākaḥah, mawārīś, mu’āmalah, jināyah, siyāsah, dan ‘aqḍiyyah). Unsur keempat adalah kaidah fikih, yang disimpulkan dari substansi fikih.
Fikih yang dideduksi dari dalil-dalil dalam kedua sumber (al-Qur’an dan al-Sunnah) dengan menggunakan kaidah-kaidah uşūl, yang secara operasional dilakukan dengan metode istinbāţ hukum. Nah, disinilah wilayah pembahasan dalam makalah ini, dengan mencoba mengangkat sebuah kaidah diantara sekian banyak kaidah-kaidah uşūl yang ada. Kaidah tersebut ialah:

الأَمْرُ بِالشَّيْءِ أَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ
“Perintah terhadap sesuatu perbuatan berarti perintah juga bagi perkara-perkara yang menjadi perantara terlaksananya perbuatan tersebut”.

Dari kaidah uşūliyah inilah, muncul berbagai istinbāţ, penalaran, dan penetapan hukum terhadap penerapan dan aplikasi fikih daam kehidupan umat manusia.
Untuk membatasi penjabaran kaidah tersebut di atas dalam makalah ini, maka kami memfokuskan pembahasan pada:
• Wasīlah dalam pandangan ulama.
• Kedudukan dan aplikasi kaidah الأَمْرُ بِالشَّيْءِ أَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ .



PEMBAHASAN
Wasīlah dalam pandangan ulama
Wasīlah ialah perantara yang menyebabkan sesuatu perbuatan. Para ulama merumuskan wasīlah ini dalam kaidah :

الأَمْرُ بِالشَّيْءِ أَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ
“Perintah terhadap sesuatu perbuatan berarti perintah juga bagi perkara-perkara yang menjadi perantara terlaksananya perbuatan tersebut”.

Berdasarkan kaidah ini sesuatu perbuatan yang diperintahkan tidak akan terwujud kecuali dengan adanya perbuatan lain sebelumnya ataupun alat untuk mewujudkan perbuatan yang diperintahkan itu. Seperti perintah şalat berarti juga mengandung perintah ţahārah, karena şalat dianggap sempurna/sah apabila sebelumnya ber-ţahārah (berwuḍu,). Juga perintah naik rumah berarti juga perintah menegakkan tangga sebagai perantara naik rumah. Şalat dan naik rumah disebut maqāşid atau wājib muţlaq, dan wuḍu’ serta menegakkan tangga disebut wasīlah atau wājib muqayyad. Jadi baik maqāşid maupun wasīlah memiliki hukum yang sama. Atas dasar pertimbangan itulah para ulama merumuskan kaidah:
لِلْوَسَائِلِ حُكْمُ الْمَقَاصِدِ
“Perkara-perkara yang menjadi perantara suatu perbuatan sama hukumya dengan maksud atau tujuan perbuatan tersebut”.

Dari kaidah ini, kiranya dapat dipahami bahwa jika maqāşid-nya wājib maka wasīlah-nya juga wājib, dan jika maqāşid-nya haram maka wasīlah-nya juga haram, serta jika maqāşid-nya sunnah maka wasīlah-nya juga sunnah, dan seterusnya.
Sebagai contoh: A meminjamkan uang kepada B untuk berjudi, maka A juga berdosa sebagaimana B melakukan judi. Begitu juga sebaliknya, jika A membantu terlaksananya sesuatu kebajikan di jalan Allah maka si A pun mendapat pahala sebagaimana si B melakukan kebajikan itu. Hal itu sesuai dengan sabda Nabi saw.:
مَنْ دَلَّ عَلَي خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang memberi petunjuk (memberi pertolongan) kepada perbuatan yang baik maka baginya pahala seperti pahala yang mengerjakannya”. (HR. Muslim).

Berdasarkan pertimbangan itulah jumhūr al-‘ulamā’ berpendapat bahwa:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَجِبٌ
“Sesuatu perkara yang kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengannya, maka perkara tersebut juga merupakan kewajiban”

Dalam pandangan jumhūr al-‘ulamā’ ada lima macam wasīlah, yaitu :
1. وَسِيْلَةُ الشَّرْعِ (wasīlatu al-syar’i), yaitu perantara yang ditentukan oleh syara’. Misalnya: wuḍu’ menjadi perantara (wasīlah) bagi sempurnanya şalat.
2. وَسِيْلَةُ الْعَقْلِ (wasīlatu al-‘aqli), yaitu perantara yang ditentukan oleh akal. Misalnya: tidak membelakangi menjadi perantara bagi sempurnanya menghadap kiblat.
3. وَسِيْلَةُ الْعُرْفِ (wasīlatu al-‘urfi), yaitu perantara yang ditentukan oleh adat kebiasaan. Misalnya: memasang tangga menjadi perantara untuk menaiki loteng.
4. تَيَقُّنُ الإِسْتِفَاءِ (tayaqqunu al-istifā’i), yaitu hal yang dijalankan untuk meyakinkan sempurnanya sesuatu perbuatan. Misalnya: membasuh sebagian kepala (batas-batas tumbuhnya rambut) menjadi perantara bagi kewajiban membasuh muka dalam berwuḍu’. oleh karena sulit meneliti batas muka, maka untuk meyakinkan terbasuhnya seluruh muka kita harus membasuh sebagian kepala demi untuk menghilangkan keragu-raguan.
5. سَبَبُ الإِشْتِبَاهِ (sababu al-isytibāh), yaitu sebab adanya keserupaan yang mengharuskan menghilangkan sesuatu. Misalnya: ada dua orang wanita, yang satu bukan muhrim/mahram dan yang satunya seorang mahram, kedua-duanya sangat serupa sehingga sulit dibedakan antara mana yang mahram dan mana yang bukan mahram. Dalam kasus ini, kedua-duanya harus ditinggalkan (tidak boleh dikawini). Jadi keserupaan tadi menjadi perantara bagi meninggalkan semuanya (kedua-duanya). Demikian pula jika barang yang najis bercampur dengan barang yang suci sehingga sulit untuk dibedakan dan dipilah-pilah, maka semuanya harus ditinggalkan (jangan dimakan, dipakai, dan lain sebagainya).

Kedudukan dan aplikasi kaidah الأَمْرُ بِالشَّيْءِ أَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ
Secara umum kaidah ini (الأَمْرُ بِالشَّيْءِ أَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ ) merupakan bagian dari penjabaran dalam Bāb al-Amr (perintah) sekaligus juga dimasukkan oleh para ulama uşūl dalam Bāb al-Wujūb (kewajiban). Mengenai masalah al-amr sengaja tidak dibahas secara rinci dalam makalah ini agar tidak terdapat tumpang tindih dengan judul pada pembahasan sebelumnya ( الأمر بعد النهي يفيد الإباحة ).
Dari penjabaran kaidah uşūl ini ( الأمر بالشيء أمر بوسائله ) yang membahas tentang kedudukan wasīlah dalam suatu perbuatan, apakah masuk dalam kategori wajib atau sunnah, maka para ulama merincikannya dalam kaidah yang lebih jelas, yaitu:
مَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ وَ مَالاَ يَتِمُّ الْمَنْدُوْبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ مَنْدُوْبٌ
“Sesuatu yang tanpanya tidak sempurna suatu kewajiban maka perkara tersebut hukumnya wajib, dan sesuatu yang tanpanya tidak sempurna suatu amalan sunnah maka perkara tersebut hukumnya sunnah”
• Definisi Wājib
Definisi wajib bermacam-macam, menurut ‘Abdul Wahhāb Khallāf, wājib menurut syari’at adalah:
مَا طَلَبَ الشَّارِعُ فِعْلَهُ مِنَ الْمُكَلَّفِ طَلَبًا حَتْمًا
“Perbuatan yang dituntut oleh Syāri’ untuk dilakukan mukallaf dengan tuntutan yang tegas”.

Tegas atau tidak tegasnya sebuah tuntutan dapat dilihat dari bentuk kalimat pada dalil-dalil syar’I sebagai sebuah qarīnah dalam menetapkan kewajiban suatu amalan, seperti:
  
“… Diwajibkan atas kamu berpuasa…”. (al-Baqarah (2):183).
Atau berbentuk perintah ( الأَمْرُ ) dan di dalam ayat-ayat di mana Allah swt. mengancam dengan siksaan bagi orang yang meninggalkannya.
Menurut Imām al-Gazāli dalam memberikan definisi wajib adalah: مَا أَشْعَرَ بِالْعُقُوْبَةِ عَلَي تَرْكِهَا “wajib ialah yang dirasakan ada sanksinya apabila ditinggalkan”. Definisi al-Gazāli ini menggambarkan tentang eratnya hubungan hukum dan moral di dalam sistem hukum Islam.
Definisi wajib yang paling terkenal ialah setiap perbuatan diberi pahala apabila dikerjakan dan diberi siska apabila ditinggalkan. Wajib menurut ulama sama artinya dengan farḍu, maḥtūm, dan lāzim. Imām Abū Hanīfah membedakan antara farḍu dan wājib. Meskipun perbedaan ini juga bersifat teoritis, sedangkan secara praktis tidak banyak berarti.

• Definisi Mandūb
Mandūb atau yang lebih dikenal dengan istilah perkara-perkara sunnah mempunyai beberapa pengertian, diantaranya:
﴿ الْمَنْدُوْبُ هُوَ مَا طَلَبَ الشَّارِعُ فِعْلَهُ طَلَبًا غَيْرَ لاَزِمٍ , أَوْ هُوَ مَا يُثَابُ فَاعِلُهُ وَلاَيُعَاقَبُ تَارِكُهُ , أَوْ هُوَ مَا يُمْدَحُ فَاعِلُهُ وَلاَ يُذَمُّ فِي الشَّرْعِ تَارِكُهُ , أَوْ هُوَ الرَّاجِحُ فِعْلُهُ مَعَ جَوَازِ تَرْكِهِ ﴾
“Mandūb adalah permintaan Syāri’ utuk melakukan sesuatu perbuatan dengan permintaan yang tidak tegas, atau sesuatu perbuatan di mana pelakunya mendapat pahala dan yang meminggalkannya tidak disiksa, atau perbuatan di mana pelakunya terpuji sedang yang meninggalkannya tidak tercela menurut syari’at, atau yang lebih baik/rājiḥ melakukannya dan boleh meninggalkannya”.

Diantara istilah-istilah lain dari al-mandūb antara lain: al-Sunnah, al-Nāfilah, al-Iḥsān, al-Mustaḥab, dan al-Taţauwu’.

• مَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ (Sesuatu yang tanpanya tidak sempurna suatu kewajiban maka perkara tersebut hukumnya wajib)

Kaidah ini mengandung dua pengertian yang dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama: Bagian yang di luar kemampuan hamba (mukallaf), seperti: tergelincirnya matahari sebagai tanda wajibnya şalat zuhur, atau orang yang tidak dapat menulis karena buntung kedua tangannya, atau kehadiran imam dan jumlah jama’ah yang tanpa mereka tidak sah şalat jum’at, maka tidak ada kemampuan mukallaf untuk memaksakan imam dan para jama’ah untuk hadir ke masjid melaksanakan şalat, hal ini tidak menyebabkan hukum wajibnya wasīlah.
Kedua: masih dalam kemampuan hamba (mukallaf), seperti: ţahārah ketika şalat, bersegera menghadiri şalat jum’at, membasuh sebagian kepala ketika berwuḍu’, mulai ber-imsāk ketika puasa pada bagian akhir malam, maka siapa yang mulai berpuasa setelah berakhirnya malam berarti ia telah masuk waktu siang, sebab tidak ada batasan antara siang dan malam. Contoh lain: nisāb dan ḥaul dalam kewajiban zakat māl, al-Istiţā’ah (kemampuan) dalam kewajiban ibadah haji, dll.
Maka kaidah مَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ dapat dikuatkan dengan dalil syar’I seperti berwuḍu’ untuk şalat, atau dengan dalil aqli seperti berjalan dalam menunaikan ibadah haji, atau berdasarkan ilmu dan keyakinan, seperti melaksanakan/menqaḍa’ lima waktu şalat sebab meninggalkan salah satunya tanpa mengetahui dengan pasti şalat apa yang ditinggalkannya, atau menutup sebagian lutut dengan tujuan untuk menutupi keseluruhan paha.
Indikasi dari kaidah مَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ “Sesuatu yang tanpanya tidak sempurna suatu kewajiban maka perkara tersebut hukumnya wajib” pada penerapannya akan melahirkan dua kaidah baru yaitu:
 مَالاَ يَتِمُّ الْمَنْدُوْبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ مَنْدُوْبٌ (sesuatu yang tanpanya tidak sempurna suatu amalan sunnah maka perkara tersebut hukumnya sunnah)
 مَالاَ يَتِمُّ تَرْكُ الْحَرَامِ إِلاَّ بِتَرْكِهِ فَتَرْكُهُ وَاجِبٌ (sesuatu perkara yang apabila tidak ditinggalkan, maka keharaman juga tidak dapat ditinggalkan, maka meninggalkan perkara tersebut hukumnya wajib)
Dengan demikian, perkara yang merupakan perantara dalam menyempurnakan suatu kewajiban, dapat dilihat pada dua sisi :
Pertama: al-Wasīlah dan segala yang harus didahulukan sebelum melaksanakan sesuatu. Misalnya: jika seandainya Tuhan memerintahkan untuk menyiksa si Zaid, sementara tidak ada cara lain untuk menyiksanya kecuali dengan memukulinya, maka pemukulan tersebut dapat membuat badannya tersiksa. Contoh lain: diharuskan dalam keadaan suci sebelum melaksanakan şalat, dll.
Berkenaan dengan masalah ţahārah sebelum melaksanakan şalat, maka hal tersebut sudah merupakan ijmā’ ulama, bahwa şalat tidak sempurna tanpa ţahārah dan semua dalil-dalil yang mewajibkan şalat juga mewajibkan ţahārah, sehingga untuk sahnya şalat maka wajib dalam kondisi ţahārah.
Kedua: yang tidak termasuk wasīlah. Jika seseorang meninggalkan satu dari lima waktu şalat farḍu, namun ia tidak mengetahui dengan pasti tentang şalat apa dari kelima itu yang telah ia tinggalkan, maka wajib baginya untuk melaksanakan kelima şalat tersebut.
Adapun penerapan kaidah مَالاَ يَتِمُّ تَرْكُ الْحَرَامِ إِلاَّ بِتَرْكِهِ فَتَرْكُهُ وَاجِبٌ (sesuatu perkara yang apabila tidak ditinggalkan, maka keharaman juga tidak dapat ditinggalkan, maka meninggalkan perkara tersebut hukumnya wajib). Misalnya: apabila bercampur antara saudara perempuan yang mahram dan wanita yang bukan mahram, atau bercampurnya bangkai hewan dengan hewan sembelihan, dan sulit untuk membedakan antara keduanya, maka harus ditinggalkan kedua-duanya (tidak mengawini salah satu dari wanita-wanita tersebut, dan tidak memakan semua daging hewan tersebut). Sebab kita tidak dapat menghilangkan atau meninggalkan sesuatu yang haram (yaitu memakan bangkai dan menikahi mahram) kecuali dengan meninggalkan semuanya, maka meninggalkan semua perkara tersebut wajib hukumnya.

C. PENUTUP
Berdasarkan pembahasan yang singkat di atas, maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
• Dalam pandangan jumhūr al-‘ulamā’ ada lima macam wasīlah, yaitu:
 وَسِيْلَةُ الشَّرْعِ (wasīlatu al-syar’i),
 وَسِيْلَةُ الْعَقْلِ (wasīlatu al-‘aqli)
 وَسِيْلَةُ الْعُرْفِ (wasīlatu al-‘urfi),
 تَيَقُّنُ الإِسْتِفَاءِ (tayaqqunu al-istifā’i),
 سَبَبُ الإِشْتِبَاهِ (sababu al-isytibāh),
• Kaidah uşūliyah yang berbunyi: الأَمْرُ بِالشَّيْءِ أَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ “Perintah terhadap sesuatu perbuatan berarti perintah juga bagi perkara-perkara yang menjadi perantara terlaksananya perbuatan tersebut”. Dalam penerapannya, kaidah ini dapat dirinci dalam tiga kaidah yang lebih bersifat khusus, yaitu:
 مَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ (Sesuatu yang tanpanya tidak sempurna suatu kewajiban maka perkara tersebut hukumnya wajib).
 مَالاَ يَتِمُّ الْمَنْدُوْبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ مَنْدُوْبٌ (sesuatu yang tanpanya tidak sempurna suatu amalan sunnah maka perkara tersebut hukumnya sunnah).
 مَالاَ يَتِمُّ تَرْكُ الْحَرَامِ إِلاَّ بِتَرْكِهِ فَتَرْكُهُ وَاجِبٌ (sesuatu perkara yang apabila tidak ditinggalkan, maka keharaman juga tidak dapat ditinggalkan, maka meninggalkan perkara tersebut hukumnya wajib).


DAFTAR PUSTAKA

Al-Aşfahāni, Syamsuddīn Maḥmūd ‘Abdurraḥmān. Syarḥu al-Minhāj li al-Baiḍāwi fī ‘Ilmi al-Uśūl. Juz. I., Cet. I; Riyāḍ: Maktabah al-Rusyd, 1420 H/1999 M.

Al-Dimasyqi, ‘Abdul Qādir bin Aḥmad bin Muşţafā Badrān al-Daumi. Nuzhatu al-Khāţiri al-‘Āţiri: Syarḥu Kitāb Rauḍatu al-Nāziri wa Junnatu al-Munāzir. Juz. I., Cet. I; Beirūt: Dār al-Hadīś, 1412 H/ 1991 M.

Al-Rāzi, Fakhruddīn Muḥammad bin ‘Umar bin al-Ḥusain. Al-Maḥşūl fī ‘Ilmi Uşūl al-Fiqhi. Juz. II., Cet. III; Beirūt: Mu’assasah al-Risālah, 1418 H/1997 M.

Al-Syinqīţi, Muḥammad al-Amīn bin Muḥammad al-Mukhtar. Mużakkirah fī Uşūl al-Fiqhi. Cet. IV; Dimasyqi: Dār al-‘Ulūm wa al-Ḥikam, 1425 H/2004 M.

Azzām, ‘Abdul Azīz Muḥammad. Qawā’idu al-Fiqhi al-Islāmī: Dirāsah ‘Ilmiyyah Taḥlīliyyah Muqāranah. t. Cet; ‘Ain Syams: Maktab al-Risālah al-Dauliyyah, 1998-1999.

Bisri, Cik Hasan. Model Penelitian Fiqh: Paradigma Penelitian Fiqh dan Fiqh Penelitian. Ed. 1., Jilid. I., Cet. I; Bogor: Kencana, 2003.

Djazuli, HA., dan I. Nurul Aen. Uşūl Fiqh: Metodologi Hukum Islam. Ed. I., Cet. I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.

Kementrian Urusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia. Al-Qur’ān dan Terjemahnya. t. Cet; Madinah: Percetakan al-Qur’ān al-Karim Raja Fahd, 1426H.

Khallāf, ‘Abdul Wahhāb. ‘Ilmu Uşūl al-Fiqhi. Cet. XI; Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islāmiyyah, 1397 H/1977 M.


Read More..

Minggu, 06 April 2008

لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ الأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ الْأزْمِنَةِ وَ الْأَمْكِنَةِ وَ الْأحْوَالِ

Tidak dipungkiri bahwasanya perubahan hukum-hukum disebabkan adanya perubahan waktu, tempat, dan keadaan/kondisi

A. Pendahuluan.

“Agama itu mudah . siapapun yang hendak membuatnya sulit, niscaya akan dikalahkannya (HR. Bukhari)

“Mudahkanlah; jangan menyulitkan. Tebarkanlah optimesme; jangan membuat orang menjadi pesimis” (HR. Bukhari dan Muslim)

Begitulah yang dapat kita ketahui di antara hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. Dan masih banyak lagi yang mengandung pengertian seperti itu, dan sudah barang tentu, pengertian seperti ini, beliau (Muhammad saw) pengertian seperti ini, beliau simpulkan dari wahyu Allah SWT, berupa ayat-ayat al-Qur’an, maupun hadits-hadits Qudsiy, yang menegaskan bahwa perintah-perintah Allah semuanya adalah ringan dan mudah dikerjakan; tak mungkin menjadi beban menyulitkan bagi siapa saja yang hendak melaksanakannya.
Diantara firman Allah SWT QS. al-Baqarah (2): 286, al-Baqarah (2): 185 serta al-Hajj (22): 78, begiu pula dengan doa-doa yang diajarkan kepada kita dalam al-Qur’an yang bunyi : ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan atas diri kami beban yang berat, sebagaimana Engkau bebankan atas orang-orang sebeum kami. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan atas kami diri kami apa yang tak sanggup kami memikulnya…maafkanlah kami, ampunilah kami dan rahmatilah kami. (QS. al-Baqarah (2): 286
Begitulah nuansa kemudahan agama yang dapat kita tangkap ketika menyimak kedua sumber utamanya : al-Qur’an dan as-Sunnah.
Dalam setiap perintah dan larangan, Ketentuan syari’at Islam selalu berada di antara dua tingkatan : yang meringankan dan yang memberatkan. Begitu juga setiap mukallaf (orangyang berlaku padanya perintah dan larangan syariat) di setiap tempat dan zaman, pasti tidak keluar dari dua kategori: yang kuat dan yang lemah, ditinjau dari segi keimanan maupun fisiknya. Barang siapa termasuk yang kuat (imannya dan / atau fisiknya), maka ia dianjurkan memilih Ketentuan yang lebih berat dan berpegang pada yang bersifat ‘azīmah (yakni memerlukan usaha dan tekad kuat). Dan barang siapa termasuk yang lemah imannya dan / atau fisiknya), maka ia dibolehkan memilih Ketentuan yang meringankan, dan bepegang pada yang bersifat rukhshah (keringanan yang diizinkan karena alasan-alasan tertentu).
Misalnya fatwa-fatwa yang berkaitan dengan persyaratan sahnya pernikahan yang saling bertentangan seperti itu, yang Kebanyakan akibat perbedaan interpretasi sekitar nash-nash dalam al-Qur’an dan Sunnah, sehingga menyebabkan para imam pemberi fatwa menggunakan pemikiran mereka sesuai dengan kebutuhan di masa-masanya masing-masing, dan jika hasil Ijtihad mereka itu ternyata tidak seragam, maka yang demikian itu, adalah semata-mata akibat perbedaan latar belakang pendidikan, pengalaman, kondisi masyarakat dan sebagainya. Maka tidaklah mengherankan bilamana sebagian dari pendapat-pendapat tersebut adakalanya bahkan sering kali tidak mampu mengikuti cepatnya arus perubahan dan perkembangan zaman.
Itulah sebabnya ibn Qāyyim dalam I’lām al-Muwaqqi’īn menerangkan tentang perlunya perubahan fatwa bersamaan dengan perubahan tempat dan waktu. Maka kewajiban kita dimasa ini ialah meninjau kembali manakah di antara fatwa-fatwa para fuqaha terdahulu yang masih dapat dipertahankan dan mana pula yang harus diganti, atau dilengkapi dengan persyaratan-persyaratan khusus yang sesuai dengan perubahan zaman, dan lebih memenuhi tujuan utama syari’at, dalam mengutamakan kemaslahatan kaum Muslim secara khusus, dan umat manusia secara umum.
Pembahasan.
Makna/maksud dari kaidah :

Adanya perubahan kondisi, keadaan, waktu, dan tempat, berpengaruh sangat besar terhadap banyak hukum-hukum syari’at yang bersifat ijtihādiyyah, bila saja adat dan kebiasaan masyarakat dapat menjadi sebuah hukum, yang kemudian hukum tersebut berubah disebabkan adat dan kebiasaan yang lain, maka sesungguhnya hukum tersebut mengalami perubahan sesuai dengan apa yang cocok dengan adat dan kebiasaan tempat perpindahan hukum tersebut.
Adapun hukum yang ditetapkan dengan al-naş maka tidak mengalami perubahan. Misalnya ketika syari’at memberikan pilihan bagi seseorang yang telah membeli barang yang belum pernah dilihatnya sebelumnya, sesuai dengan hadiś Nabi saw. :
مَنِ اشْتَرَ شَيْئًا لَمْ يَرَهُ فَلَهُ الْخِيَارُ إِذَا رَآهُ
“Barangsiapa yang membeli sesuatu yang belum pernah dilihatnya, maka baginya pilihan setelah melihatnya”.

Berdasarkan hadiś ini, jika sebuah perumahan dibangun dengan type/model yang sama, maka menurut para fuqaha terdahulu, tidak ada pilihan bagi pembeli setelah cukup dengan melihat salah satu dari rumah-rumah tersebut sebagai contoh sesuai dengan kebiasaan yang ada. Akan tetapi jika perumahan tersebut memiliki banyak type/model, maka fuqaha kontemporer lebih menguatkan pendapat Zufar, bahwasanya harus melihat seluruh type rumah agar dapat menggugurkan hak pilihan bagi si pembeli. Perbedaan pendapat ini, bukanlah perbedaan pada wilayah argumentasi atau dalil, tetapi perbedaan masa dan waktu.
Hal ini dapat diterima dan merupakan sunnatullāh bagi para hamba-Nya. Ketika Allah swt. mengawali penciptaan manusia, kondisi yang sempit ketika itu dengan sedikitnya umat manusia, maka Allah menghalalkan pernikahan laki-laki dan perempuan sesama saudara sekandung, dan meluaskan hukum dalam banyak permasalahan. Hal tersebut berlangsung sampai meluasnya penyebaran manusia, hingga Allah mengharamkan pernikahan sedarah tersebut di masa Bani Israil, kemudian seterusnya mengharamkan bagi mereka lemak dan daging onta, dan sebagainya.
Pada syari’at terdahulu, taubatnya seorang manusia yaitu dengan membunuh dirinya, cara menghilangkan najis pada badan atau pakaian dengan memotong bagian tersebut, dan sebagainya. Kemudian berlalunya waktu, umat manusia tidak kuat dengan hal-hal semacam di atas, maka dengan Maha Lembut-Nya Allah swt. meringankan para hambanya dengan menghalalkan yang sebelumnya diharamkan, menerima taubat manusia tanpa harus bunuh diri, menghilangkan najis tanpa harus memotong anggota badan atau pakaian, dll. Semua hal tersebut disebabkan adanya perbedaan dan perjalanan waktu, tempat, kondisi, dan merupakan sunnatullāh bagi para hamba-Nya.
Hukum-hukum seputar perbedaan masa dan kondisi harus berlaku pada hal-hal yang dikuatkan dengan kaidah-kaidah syara’, atau berdasarkan pertimbangan al-maşlahah al-mursalah, yaitu tidak disebutkan kebolehan dan pelarangannya dalam syari’at, namun bermanfaat bagi umat manusia. Maka hal tersebut dibolehkan walaupun belum ada dasar sebelumnya dalam syari’at, sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar al-şiddiq ketika mewasiatkan khilafah kepada ‘Umar, ketika para sahabat membiarkan khalifah pengganti Nabi saw. dimusyawarahkan oleh enam sahabat saja, membangun perkantoran, membuat mata uang, mendirikan penjara-penjara, dll, yang disebabkan adanya perubahan kondisi dan waktu, walau tidak terdapat perintah dari Syāri’, juga bukan qiyās dari masalah sebelumnya, tetapi berdasarkan kemaslahatan.
Para fuqaha berbagai mazhab juga telah mendasari pendapat mereka berdasarkan al-maşlahah al-mursalah, yang ditandai dengan banyaknya fatwa-fatwa mereka dengan melihat pada kemaslahatan, sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Qarāfi dan Ibnu Daqiq al-‘Ied yang mengambil dari riwayat al-Syaukāni yang mengatakan dalam kitabnya “Irsyād al-Fuhūl”, : “Tidak diragukan bahwasanya Imam Mālik lebih kuat pendapatnya dalam hal ini dari para fuqaha lainnya, yang disusul oleh Ahmad bin Hanbal, bisa saja ada pendapat selain mereka, namun mereka berdua yang lebih kuat dalam permasalahan ini”.

Syarat-syarat beramal dengan pertimbangan kemaslahatan

Para fuqaha telah menetapkan syarat-syarat yang membolehkan amalan dengan dasar kemaslahatan, antara lain:
1. Jelas kemaslahatannya dan bukan sesuatu yang samara-samar atau perkiraan. Bahwa menetapkan hukum tersebut mendatangkan manfaat atau mencegah kemudaratan, dengan demikian Syāri’ menginginkan pelaksanaan setiap maslahat.
2. Kemaslahatan yang jelas tersebut bersifat umum. Bukan kemaslahatan pribadi, maka menetapkan hukum tersebut bermanfaat bagi kebanyakan orang dan mencegah/menolak kemudaratan bagi banyak orang.
3. Kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan naş atau ijmā’. Apabila bertentangan, maka kemungkinan besar kemaslahatan tersebut masih samar-samar atau bersifat perkiraan belaka. Dengan demikian, tidak dapat disamakan antara kemaslahatan yang jelas dan sesuai naś dan ijmā’, dengan kemaslahatan yang bersifat perkiraan belaka.

Sebab-sebab adanya perubahan hukum :
1. Zaman yang penuh dengan kerusakan dan penyimpangan manusia ketika itu dari syari’at yang benar.
2. Adanya perubahan adat istiadat, kebiasaan, dan kemajuan zaman.

Diantara contoh-contohnya :

1. Orang yang banyak hutang, dibolehkan menghibahkan atau mewaqafkan hartanya, walaupun hutang-hutangnya tersebut sebanding dengan seluruh hartanya, sebab hutang terkait dengan persoalan kehormatan pribadinya, sementara dia bebas untuk mempergunakan hartanya. Hal ini bagian dari permasalahan qiyās. Akan tetapi dengan berlalunya waktu, zaman yang makin rusak, kehormatan sudah tidak berharga, ketamakan marajalela, berkurangnya sifat wara’, sehingga banyak pengutang yang melarikan dirinya dengan cara mewaqafkan atau menghibahkan hartanya kepada keluarga atau teman karibnya, akhirnya ulama kontemporer dari kalangan fuqaha Hanafiyah dan Hanābilah berpendapat bahwa si pengutang tidak boleh mempergunakan hartanya untuk apapun kecuali bila memiliki sisa harta setelah melunasi hutang-hutangnya.
2. Para fuqaha kontemporer juga telah berfatwa bahwa orang yang disuruh untuk membuat kerusakan juga harus membayar ganti rugi, hal ini disebabkan perubahan kondisi manusia, walaupun dalam kaidah dikatakan: “ganti rugi dibebankan bagi pelaku utama dan bukan atas orang yang menjadi sebab (yang disuruh)”.

Dengan demikian, maka hukum-hukum syari’at memudahkan untuk kemaslahatan umat manusia, sebab tidak semua hukum bersifat paten dan constant, akan tetapi hukum-hukum tersebut ada yang bersifat fleksibel yang berubah sesuai dengan perubahan kondisi, adat kebiasaan, kebutuhan manusia, kemaslahatan, kesulitan, dan pencegahan dari bahaya.

Dasar argumentasinya:

1. Apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Bukhari dalam kitab Tārikh-nya : “berkata Ali bin Abi Thalib: Ya Rasūlullāh, apabila engkau mengutusku pada suatu masalah, apakah saya menjadi seorang pengacara/pembela atau saksi yang melihat apa yang tidak dilihat orang lain ? Maka Nabi saw. bersabda: Jadilah saksi yang melihat apa yang tidak dilihat orang lain”. Maksudnya, Ali ingin memperjelas dari Rasulullah, apakah hukum syar’I seperti seorang pengacara/hakim yang menvonis yang tidak dapat berubah, tidak ada wilayah ijtihad, atau berijtihad dengan apa yang riil, maka Nabi menjawab bahwa hukum dapat berubah dengan perubahan kondisi dan waktu.
2. Ketika Umar bin Khattāb tiba di Syām, dan mendapati Mu’awiyah bin Abi Sufyan telah membuat pembatas (benteng/istana), memakai kendaraan yang mewah, pakaian yang mahal, keadaannya tidak seperti keadaan para pemimpin kaum muslimin sebelumnya. Umar pun bertanya kpadanya tentang sebab demikian, maka Mu’awiah benjawab: “Sesungguhnya kami hidup di negeri yang membutuhkan hal-hal itu”. Berkata Umar: “Saya tidak memerintahkan kepadamu hal demikian juga tidak melarangmu”.
Al-Qarāfi (mengomentari kejadian tersebut) berkata: maksud Umar, kamu (Mu’awiyah) lebih mengetahui mengenai kondisimu, apakah kamu membutuhkannya maka hal itu menjadi baik, atau tidak membutuhkannya maka hal itu menjadi jelek. Maka Umar dan selainya berpendapat bahwa kondisi para pemimpin berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan masa, tempat, situasi dan kondisi. Olehnya itu, bisa saja saat ini kita membutuhkan pembaruan yang belum terdapat pada masa lalu.
3. Masa setelah Tabi’in juga demikian, yang berfatwa atas bolehnya mengambil upah dari pengajaran al-Qur’an, Imam Masjid, Tukang Adzan, dll. Yang mana hal tersebut tidak dibolehkan berdasarkan apa yang disepakati dari Imam Abu Hanifah dan dua sahabatnya (Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan).
4. Nabi saw. pernah melarang perkataan-perkataan beliau ditulis, namun kemudian dibukukan oleh para ulama atas perintah Umar bin Abdul Aziz.
5. Sebelumnya, penulisan al-Qur’an pada dedaunan, kemudian dicetak di atas kertas, dibangunnya sekolah, universitas dengan berbagai jurusan, tingkatan-tingkatan pendidikan, dll.

Menurut Ibnu al-Qayyim: Hukum dapat dibagi menjadi dua bagian:
Pertama. Hukum yang tidak mengalami perubahan, walaupun adanya perubahan zaman, tempat, tidak juga ijtihad para ulama, seperti pada masalah kewajiban hal-hal yang diwajibkan naş dan pengharaman, hukuman-hukuman yang telah ditetapkan dalam syari’at, dll. Maka tidak adanya perubahan hukum atau ijtihad ulama dalam masalah ini.
Kedua. Hukum yang berubah disebabkan adanya manfaat/maslahat. Seperti ancaman dibunuh bagi peminum khamar yang sudah dipeingati sebanyak empat kali, ancaman membakar rumah orang-orang yang tidak menghadiri shalat jama’ah di masjid, seandainya tidak dilarang, maka hal itu dapat membawa mudarat bagi wanita, istri dan anggota keluarga mereka
Demikian pula yang dikerjakan para sahabat Nabi sepeninggal beliau. Misalnya Umar bin Khattab yang memenggal kepala, memenjarakan, memukuli, peminum khamar, membakar kampung-kampung tempat produksi khamar. Umar juga membakar istananya Sa’ad bin Abi Waqqaş karena menolak menjadi pemimpin. dll.



DAFTAR PUSTAKA


Disadur dan dirangkum dari, ‘Abdul Azīz Muḥammad Azzām, Qawā’idu al-Fiqhi al-Islāmī: Dirāsah ‘Ilmiyyah Taḥlīliyyah Muqāranah, (t. Cet; ‘Ain Syams: Maktab al-Risālah al-Dauliyyah, 1998-1999

Read More..

Rabu, 02 April 2008

Sekilas Info

Pemerintah sedang membuata RUU tentang sengketa ekonomi syari’ah yaitu pada bab IX “Penyelesaian sengketa Perbankan Syari’ah” Pasal 52 yang menyebutkan bahwa: Sengketa pada perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan umum.
Penjelasannya :

Penyelesaian sengketa pada perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan umum karena transaksi terkait dengan perbankan syariah bersifat komersial.
Sebelum penyelesaian diserahkan kepada pengadilan umum dapat dilakukan upaya-upaya sebagai berikut :
a. Melalui Musyawarah.
b. Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui mediasi perbankan atau mekanisme arbitrase syariah.

Read More..
Template by - Abdul Munir | Daya Earth Blogger Template